ARDI NURSODIK

Minggu, 14 Desember 2008

Running ( Rumput tentang angin )

Running (Rumput, Tentang Angin)

Namaku Rei Ednilson da Souza Neuv-Arrhi. Aku anak ketiga dari empat bersaudara dalam sebuah keluarga blasteran Brasil-Inggris. Orang lebih mengenalku sebagai seorang fotografer, tapi sebetulnya pendidikan formalku adalah kedokteran. Aku sarjana kedokteran yang jadi fotografer, mungkin begitu singkatnya. Aku harus main kucing-kucingan dengan ayahku, seorang dokter, sewaktu kuliah fotografi sekaligus kuliah kedokteran karena aku tahu ayahku tidak akan pernah mengizinkan aku. Ironisnya, semua orang di dunia kerjaku memanggilku dengan nama keluargaku—nama ayahku.

Ayahkulah orang yang mengusirku dari rumah, mengatakan bahwa aku baru boleh kembali saat cara berpikirku sudah kembali ke jalan yang benar.

Aku gay.

Aku ditampar dan disumpahi sewaktu mengungkapkan hal itu kepada ayahku. Itulah kontak terakhirku dengan ayahku belasan tahun lalu. Sampai hari ini aku hanya berhubungan dengan keluargaku setiap aku mengirimkan kartu Natal ke rumah. Aku tidak pernah bicara dengan ayahku lagi bahkan saat pemakaman Ibu atau pernikahan kakak perempuanku, Velma—satu-satunya yang membalas kiriman kartu Natalku tiap tahun dan juga satu-satunya anggota keluargaku yang bicara denganku.

Tahun-tahun terakhir ini aku bolak-balik Inggris-Indonesia terus. Indonesia negeri tropis yang cantik dengan sinar matahari sepanjang tahun—mengingatkan aku pada tanah kelahiranku nun jauh di Amerika Latin sana. Bahasa Indonesiaku bisa dibilang bagus sekarang. Sayang di negeri ini sepakbola tidaklah mendarah daging seperti di Brasil, padahal begitu banyak anak muda yang main sepakbola sambil tertawa di sini—dan aku paling suka memotret wajah-wajah bahagia. Mereka terlihat begitu menikmati sepakbola, tapi sepakbola negeri ini masih amat jauh bila dibandingkan dengan sepakbola di tanah airku.

Kami orang Brasil adalah orang-orang hedonis—dalam artian positif—karena kami selalu melakukan apa yang kami sukai.

Omong-omong, Erian pernah mengatakan hal yang sama. Melakukan apa yang kita sukai itu penting lho, Padre.

Ah ya. Aku memang gay, tapi ada seorang perempuan manis pencinta fotografi yang memanggilku Padre—walau ia lebih sering memanggilku dengan Rei saja. Erian. Putri tersayang, tak terganti, dan nomor satu Yuy Kiliando.

Yuy juga blasteran Brasil. Ayahnya, orang yang menamai anaknya Ernst karena kekagumannya pada Ernest Hemingway, keliling dunia untuk menggambarkan dunia lewat tulisannya. Ibunya, Aina, adalah satu dari empat perempuan paling hebat dalam hidupku dan orang Indonesia tulen yang menyenangkan. Dia, yang terkenal karena senyumnya, adalah pemain kidal mantan kapten tim sepakbolaku waktu masih sekolah di Inggris; pemain sepakbola yang mungkin bisa jadi legenda sebesar Garrincha, Zico, atau Socrates kalau saja ia terus main sepakbola—aku tak akan menyebut nama Pele di sini karena Pele adalah dewa orang Brasil yang tak bisa dibandingkan. Kedua kakinya adalah harta yang setiap pemain sepakbola mungkin rela mati untuk mendapatkannya. Di awal masa sekolah kami, dialah orang yang dengan blak-blakan mengatakan alasannya masuk tim sepakbola; karena dia adalah putra negeri sepakbola. Menyebalkan dan terdengar sombong, memang, tapi rasa bangga itulah yang membuat kami berkenalan.

Dia orang yang tak terduga dan tak bisa dipegang. Yuy hidup seperti angin; bebas dan tak terikat pada siapapun. Yuy berpikir seperti angin. Yuy main sepakbola, kadang cepat dan kadang lambat namun selalu anggun, seperti angin.

Sang putra negeri sepakbola berhenti main sepakbola karena aku.

Dulu aku berjanji padanya akan selalu berlari di belakangnya—aku gelandang bertahan—dan dia tak usah khawatir karena kalau dia menoleh ke belakang, aku akan selalu ada di sana. Aku tidak ingat berapa jarak yang kutempuh untuk berlari mengikuti punggungnya—dia fantasista hebat yang bahkan hanya dengan satu kaki sehat saja bisa mengatur bukan hanya timnya tapi juga tim lawan. Aku tidak ingat berapa lama waktu yang kulewatkan untuk menemaninya melakukan latihan tambahan. Aku tidak ingat berapa kali aku menerima dan memberi bola padanya, menyerahkan nasib tim kami ke dalam tangannya. Aku tidak ingat seberapa sering kami melewatkan waktu berdua sampai-sampai aku tahu mengenai ayahnya yang tak ingin dikenalnya dan Yuy tahu bahwa di rumah nama panggilanku Nene. Aku tidak ingat kapan aku menyadari bahwa kebanggaan kami memiliki darah Brasil bukan berarti kami bangga memiliki darah ayah kami.

Aku tidak ingat berapa lama, bagaimana, dan mengapa aku terus berdiri di sana sampai akhirnya aku mengerti bahwa laki-laki inilah orang terpenting dalam hidupku.

Aku kehilangan sepakbolaku sewaktu aku kehilangan lutut kiriku dan mendapat tujuh jahitan di kening yang bekasnya masih saja bisa dilihat sampai sekarang. Aku tidak begitu ingat kejadiannya. Yang kuingat hanyalah aku mengikuti Yuy keluar dari stadion setelah menerima telepon dari manajer kami yang juga pacar Yuy, Elena, padahal aku tahu Elena tidak akan datang ke pertandingan final wilayah kami itu karena ia harus menghadiri sebuah sesi pemotretan—dia model. Yang kuingat hanyalah Yuy dikelilingi empat atau lima pemuda, salah satu dari mereka mengeluarkan pemukul bisbol dari balik punggungnya. Yang kuingat hanyalah aku menerjang ke tengah-tengah orang terpentingku dan mereka. Yang kuingat hanyalah aku meneriakkan namanya dan kepalaku terasa sakit luar biasa. Sudah itu semua gelap dan bangun-bangun aku sudah berada di rumah sakit, ibuku dan Velma menangis di sebelah tempat tidurku dan ayahku mengabarkan bahwa waktu sepakbolaku selesai sudah. Ayahku juga mengingatkan soal taruhan kami; aku harus kuliah kedokteran karena timku kalah.

Sintingnya, yang waktu itu kupikirkan hanyalah apakah kaptenku baik-baik saja.

Aku kembali ke sekolah seminggu kemudian, pakai kruk dan terpincang-pincang. Beberapa kawan sekolahku yang perempuan menyampaikan simpati mereka sambil menangis dan rekan-rekan di tim sepakbola tak sanggup menatap mataku. Wakil kapten timku—kiper dan tangan kanan Yuy, Jim, memberi medali perak bagianku. Dia cerita bagaimana pertandingan final tim kami benar-benar menjadi lawakan yang tidak lucu. Tim kami main seperti baru kenal sepakbola tanpa playmaker dan gelandang bertahannya yang mendadak harus dilarikan ke rumah sakit karena perkelahian jalanan.

Medali perak itu masih kusimpan sampai sekarang, tapi kusembunyikan dari Yuy.

Aku tidak bertemu Yuy sama sekali hari itu. Besoknya baru aku mendengar kabar dari Jim bahwa Yuy menolak tawaran bergabung yang diberikan oleh pemandu bakat dari Liverpool. Yuy berkata bahwa penolakan itu wajar saja karena ia adalah seorang kapten yang gagal menjaga rekan timnya. Itu adalah salah satu berita tergila yang pernah kudengar selain berita kegagalan Brasil memenangi Piala Dunia 1982. Jim juga memberitahu bahwa Elena akan serius menekuni dunia model profesional dan akan mengurangi kesibukannya sebagai manajer tim kami.

Aku tidak pernah dekat dengan keluargaku—kecuali Velma; karena itulah, berita dari Jim menjadi gelegar petir di siang bolong bagiku. Tak ada yang sanggup melihatku tanpa merasa kasihan padaku, Yuy membuang kesempatan menjadi pemain pro, dan Elena pergi. That’s it. Keluarga sejatiku berantakan.

Aku tidak ingat bagaimana aku menjalani hidupku dua tahun berikutnya dengan Yuy yang tak begitu dekat lagi denganku dan tim sepakbola kami yang anggotanya pergi menempuh jalan yang berbeda-beda. Aku menekuni buku anatomi sambil sesekali membaca tabloid sepakbola seharga dua penny yang dijual di depan gerbang universitas. Yuy tetap bersama Elena sampai Erian kecil hadir di tengah-tengah mereka.

Aku berpikir bahwa aku harus merasa bahagia untuk Yuy saat itu. Aku berpikir bahwa rasa sakitku hanyalah sebuah khayalan. Aku berpikir bahwa inilah caraku untuk tetap berlari mengikuti Yuy.

Semuanya menjadi makin berantakan waktu Elena memutuskan hidup sebagai model pro di Milan. Yuy tidak pernah kehilangan senyumannya kecuali waktu ia minum di kamar asramaku dan alergi alkoholnya kambuh. Aku tak pernah sepanik itu dalam hidupku. Sambil tersaruk-saruk menggendong Yuy ke klinik asrama, aku menelepon rumah sakit, Aina, Jim, Elena, dan bahkan Velma.

EpiPen yang selalu dibawa Yuy di sakunya—aku tak pernah menyadari hal itu—menyelamatkan nyawanya, tapi aku punya firasat bahwa kaptenku berniat bunuh diri malam itu. Lututku ngilu semalaman dan luka di keningku berdenyut-denyut seolah kepalaku mau meledak. Aku akan memburu Yuy walau harus ke neraka kalau ia sampai berani mati konyol di depanku.

Dua minggu setelahnya, aku berkelahi hebat dengan Yuy. Aku memukulinya seperti orang kalap, tapi Yuy tidak membalas sekalipun. Aku benci melihat rasa bersalah di matanya itu. Aku benci melihat keadaannya yang seperti zombie. Aku benci kaptenku yang tidak ingin lagi berlari di depanku.

Aku benci diriku sendiri yang menciumnya dan membuka apa yang selama ini kurahasiakan.

Setelah peristiwa itu hidupku hanya tentang kerja. Aku membiayai kuliah fotografiku sendiri, dibantu sedikit oleh Velma yang memang sudah bekerja. Setelah lulus kuliah kedokteran dan diusir, aku harus benar-benar hidup mandiri lepas dari keluargaku. Aku membangun hidupku dari nol sambil sesekali bermimpi tentang sepakbola di malam hari dan membuka-buka album foto kehidupan sekolahku. Aku bepergian ke semua kontinen yang ada di bumi ini. Kakiku nyaris putus digigit buaya sinting di Kakadu dan aku meracau karena dehidrasi berat di Taklamakan. Aku pernah bertemu model-model terkenal—Elena salah satunya—dan orang-orang besar dunia hiburan lain. Hasil kerjaku menghiasi majalah, galeri, dan poster di berbagai tempat. Cintaku untuk sepakbola kualihkan ke pekerjaanku sampai akhirnya aku bisa menerbitkan buku kumpulan fotoku. Aku hidup berdua dengan pekerjaanku dan berusaha untuk membunuh rasa sepi bersamanya. Aku mencintai pekerjaanku dengan sepenuh hatiku, tapi aku merasa aku pasti akan membusuk dan mati kalau aku sampai tidak bisa bersama satu-satunya milikku itu.

Aku tak pernah melupakan Yuy dan masih sering berpikir tentang dia. Jika dia sungguh-sungguh sang angin, yang tak berwujud dan tak terlihat, siapa yang menjadi sang rumput untuk menemaninya bermain di padang? Siapa yang memberitahunya bahwa ia ada?

Tapi aku tak pernah bertemu lagi dengan Yuy yang pulang ke tanah kelahiran Aina bersama Erian kecil—umurnya tiga tahun waktu itu—sampai Elena mengajakku ambil bagian dalam program UNESCO di Indonesia.

Aku punya firasat bahwa Elena melakukannya untukku, tapi aku tak ambil pusing dengan hal itu sewaktu aku pertama kali menginjakkan kaki di negeri asing yang ratusan kilometer jauhnya dari Inggris ini. Mungkin Elena tahu sejak awal. Mungkin juga Elena mengerti. Aku tidak pernah berpikir dia tahu dan mengerti. Aku ada di sini untuk bekerja; begitu pikirku.

Dan lihatlah aku sekarang; di rumah Aina, main kartu bersama Elena, Erian, dan Adamus—pacar Erian yang sedikit banyak mengingatkanku pada Yuy, dan kedua lengan Yuy, yang berdiri di belakang sofa tempatku duduk, bertumpu di bahuku.

Kupikir aku adalah orang yang berbahagia.

Yep. Let’s us be happy.

Aku memandang Erian yang telah mengucapkan kata-kata yang sebetulnya sangat ingin kudengar dari keluargaku sendiri itu, tapi aku tahu aku tak boleh serakah. Orang berkata hidup dimulai di usia empat puluh. Aku memang mendapatkan kehidupan baru sewaktu usiaku hampir kepala empat, tapi sepanjang aku menekuni capoeira—sampai sebelum lututku cedera, aku diajarkan bahwa hidup adalah tentang keseimbangan. Aku percaya itu. Aku telah kehilangan banyak hal; sepakbolaku, keluargaku, pendidikan kedokteranku, dan masa mudaku. Namun, sekarang aku mendapat gantinya puluhan, ratusan, atau bahkan mungkin ribuan kali lipat banyaknya. Mencuri waktu untuk mengucapkan selamat tidur pada Yuy via telepon atau sekedar menyampirkan selimut di bahunya waktu ia tertidur di meja kerjanya saat menulis An Empty Land sama-sama kunikmati; Aina, Erian, dan Adamus sama sekali tidak berjengit ketika melihat wajahku; Elena adalah partner kerja terbaik yang bisa didapat seorang fotografer. Sekarang aku punya rumah untuk pulang dan keluarga yang menerimaku karena aku adalah aku dan bukan karena mereka menginginkan sesuatu dariku.

Kalau Yuy mengetahui semua ini, dia pasti hanya akan tersenyum lembut sambil memiringkan kepala dan berkata ringan, You’re such a sap.

Kaptenku mungkin tidak lagi berlari di depanku, tapi aku akan selalu berdiri di belakangnya. Aku adalah rumput yang memberitahunya bahwa ia ada.





Juggling (Angin; Tentang Rumput)

Orang tua juga punya hak untuk merengut, kan? Bagus. Aku sedang merengut sekarang. Aku tak mengerti kenapa Rei suka sekali film ini. Okelah, Benigni main bagus di film bagus ini, tapi kan tidak berarti tiap kali dia punya waktu luang dia harus menonton film ini! Aku sudah menontonnya tiga kali waktu harus menulis ulasan tentang film ini dan Joao Yuy Ernst Kiliando tak harus melihat film yang sama berulang kali hanya karena orang tersayangnya melakukannya!

Aku bergerak sedikit dari posisi nyamanku di sampingnya, kepalaku merosot dari bahu ke lengannya. Aku membuka mulut untuk menggigit lengannya, tidak cukup keras untuk menyakitinya tapi cukup untuk mengalihkan perhatiannya dari layar televisi. Rei mengangkat kepalaku sedikit lewat tangannya di bawah daguku.

“Yuy,” katanya.

“Aku kan capek. Salahmu mengajakku lari pagi tadi.”

“Membakar kalori itu penting.”

“Aku lebih suka membakar kalori dengan cara lain... yang lebih menyenangkan.” Aku suka melihat wajahnya memerah sampai ke telinga. Aku tak betah diam saja membiarkan orang bermuka poker berkeliaran di sekelilingku dengan tenang. Adamus adalah urusan Erian, tapi Rei sudah tentu adalah bagianku.

“Stop it.”

Mencibir, aku melengos dan beringsut bangun. Rei mengikuti gerakanku dari sudut matanya, tapi dia tak menyusulku. Aku berjongkok di dekat rak payung untuk mengambil hadiah ulang tahun terakhirku dari Erian: bola sepakbola yang masih terbungkus kertas kado. Aku belum pernah memainkannya sedetikpun sejak Erian memberikannya empat hari lalu.

Waktu itu, aku sempat terdiam cukup lama begitu membuka kadonya dan Erian memandangku dengan agak cemas. Hadiahnya adalah hadiah paling mengejutkan. Adamus memberiku dasi, Ibu memberiku panah berburu Suku Dayak, dan Elena mengirimkan paket dari Paris berisi set rancangan terbaru dari rumah mode yang mengontraknya saat ini. Semuanya tidak sampai membuatku kehilangan kata-kata. Putri tersayangku tahu masa lalukuyang sebelumnya lebih kupilih kusimpan rapat-rapat dan dia pasti punya alasan memberiku bola sepakbola sebagai hadiah ulang tahun.

“Ayah kan kurang olahraga.” Putriku mengedikkan bahu. Kata-kata yang tak diucapkannya, Aku ingin Ayah berlari lagi karena orang yang selalu ingin mengejar punggung Ayah sudah ada di sini, terdengar jelas di dalam kepalaku.

Aku memeluk putriku lama sekali sampai-sampai Adamus, gelisah, berulang kali mengganti kaki tumpuan berdirinya. Tenang, Ad, masih lama sebelum aku harus mengantarkan Erian ke dalam pelukanmu; sekarang dia masih tuan putri manisku. Ibuku hanya memutar mata melihatku dan menarik Rei ke dapur—mereka berdua kompak soal urusan kuliner, tapi tak ada pasangan yang bisa mengalahkan duet aku dan Erian dalam duel masak bulanan kami.

Kubawa bola pemberian Erian ke halaman samping. Kuinjak dengan kaki kiri, aku merasakan sensasi yang sudah begitu lama tak kurasakan. Samar-samar aku bisa mencium bau rumput lapangan, mendengar sorak-sorai penonton, dan melihat lawan-lawanku berdiri untuk menghadang jalanku.

Sepertinya sudah lama sekali sejak aku bergaul dengan sepakbolaku...

Kuangkat bola ke udara dengan kaki kiri, rendah saja. Bola itu melambung menabrak pot teratai di dekat batas teras—kuharap Rei tidak mendengar suaranya. Aku mengerutkan kening melihatnya. Aku melakukan ribuan, bahkan mungkin jutaan, kali juggling di masa lalu, aku putra negeri sepakbola, dan aku pernah ditawari bergabung ke Anfield; masa sekarang mengarahkan bola vertikal ke atas saja aku tak bisa?

Penasaran. Rindu. Gairah.

Kuhabiskan setengah jam untuk membiasakan diriku dengan bola lagi. Telingaku berdenging dan kepalaku berdenyut hebat. Setelah setengah jam pertama, aku merasa Yuy yang jauh lebih muda seperti telah berdiri lagi di lapangan. Lagi. Lagi! Aku tak diizinkan berhenti. Suara-suara yang dulu tak pernah terasa asing hadir kembali dan berseru-seru di dalam kepalaku, Terus. Jangan berhenti. Jangan berhenti. Jangan berhenti. Jangan!

“Ah!”

Aku kehilangan kontrol atas sang bola saat aku mencoba mengangkatnya ke tengkukku. Bola itu menggelinding di teras... dan hanya berhenti saat Rei menahannya dengan satu kaki—kaki kiri dengan lutut yang kuhancurkan itu.

Terengah-engah dan banjir keringat, kedua tanganku bertopang di kedua lututku dan aku hanya bisa diam saja menatapnya.

Aku tidak pernah menceritakan kepada siapapun alasanku berhenti main sepakbola. Aku tidak berhenti main sepakbola untuk Rei. Aku berhenti main sepakbola untuk diriku sendiri—karena aku tidak ingin main sepakbola tanpa Rei berlari di belakangku. Ibu menghardikku dengan keras, setengah menangis, waktu aku memasukkan semua barang-barangku yang berhubungan dengan sepakbola ke dalam kardus dan membuangnya tak lama setelah aku menolak tawaran dari Liverpool. Aku memang egois; aku melakukan apa yang kuinginkan. Aku menyakiti dan memanfaatkan kebaikan orang lain; karena itu, kupikir aku cukup pantas untuk menemani Brutus dan Yudas Iskariot di neraka terdalam Dante.

Selama ini aku dan Rei tidak pernah menyinggung subyek sepakbola. Tak sedikitpun. Itu tabu kami. Aku tidak pernah menonton siaran sepakbola di televisi sejak peristiwa sialan itu dan meski aku tahu Rei sesekali membaca tabloid sepakbola, dia tak pernah membacanya di depanku. Meski begitu, terkadang terpikir olehku apakah Rei menyalahkanku untuk mimpinya yang hilang. Aku yang mengambil lututnya yang berharga. Aku yang meninggalkan bekas luka yang enggan lenyap dari keningnya. Aku yang menampar dan mengusir Rei dari rumahnya secara tidak langsung. Aku yang membiarkan Rei, yang sedang mencoba hidup tanpa sepakbola dan melangkah di jalan pilihan ayahnya, sendirian demi mengejar Elena. Aku yang membuatnya kecanduan kerja. Aku yang menyebabkan bekas gigitan buaya di pinggulnya dan nyaris membunuhnya di Taklamakan.

Apa Rei akan marah karena aku menyentuh bola lagi? Apa dia akan marah karena aku masih bisa bermimpi indah tentang sepakbola sementara dia, sekeras apapun usahanya, hanya bisa menonton dari tepi? Apa aku harus menoleh ke belakang dan mendapati tak ada siapapun di sana?

Rei menendang sang bola, pelan, kembali kepadaku. “Seingatku kamu lebih hebat dari itu.”

Kubiarkan bolanya menggelinding terus sampai menabrak rak kaktus Erian. Rei nyaris meringis melihatnya—putriku pasti akan sewot sekali saat nanti mendapati dua pot kaktusnya jatuh dari rak. Aku menjatuhkan diri dan telentang di atas rumput halaman. Rei berjalan mendekatiku dan duduk bersila di sebelahku. Ingatanku melayang kembali ke malam-malam masa sekolahku dulu. Rei yang tak pernah banyak bicara namun tak pernah keberatan menemaniku melakukan menu latihan tambahan. Rei yang diam mendengarkan ceritaku tentang ayahku dan selalu membawa handuk ekstra dalam tasnya untuk kemudian dilemparkan menutupi wajahku. Rei yang tak pernah berkata apa-apa saat ia menaruh kaleng minuman isotonik di dekat tasku. Rei yang menyeruak ke tengah-tengah berandalan itu dan aku. Rei yang tidur di bawah pengaruh obat penenang dalam seragam memuakkan rumah sakit dan hanya berani kulihat dari luar kaca kamar inapnya.

Rei yang selalu berlari mengejar punggungku.

Tangannya yang besar dan hangat, sedikit kasar karena pekerjaannya, mengacak rambutku dan seperti dulu lagi, ia melempar handuk menutupi wajahku.

I want to be forgiven.

Itu yang kubisikkan dekat telinga Erian empat hari lalu sebelum aku membebaskannya dari pelukanku. Keinginanku. Mimpi besar yang menggantikan mimpi sepakbolaku. Harapanku.

Ayah tahu, waktu kita lemah, kita meminjam kekuatan dari orang lain. Itu jawaban Erian saat itu.

Aku tak akan pernah jadi Ayub yang senang karena mendapat ganti anak-anaknya yang mati berkali lipat orang banyaknya. Cukup Erian saja buatku dan kurasa aku tak bisa meminta yang lebih baik lagikarena tak akan pernah ada yang melebihi putriku. Aku tak habis-habisnya bersyukur bahwa putriku telah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang hebat—dan Erian benar. Waktu sang tegar lelah, aku semestinya membiarkan dia beristirahat. Waktu lemah, aku bisa meminjam kekuatan dari orang yang selalu menjadi pilar penopangku.

“Yuy,” panggil Rei, suaranya kecil tapi lembut, “aku masih menyimpan medali perak bagianku.”

Aku tahu Rei menandai bagian ini dari An Empty Land karyaku yang kukirimkan padanya ke Inggris dengan mewarnainya: Aku Angin. Biasa saja. Tidak istimewa. Aku memang hanya angin, tapi aku adalah makhluk paling bahagia sedunia. Kau tahu kenapa, Langit?

Aku meletakkan kepalaku di pangkuan Rei dan menangis.

Karena ada Rumput yang memberitahuku bahwa aku ada.

Tags: dungeon, indonesian

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda